Utopia Urban Bernama Tebet

Tebet kini jadi sasaran kaum urban.

ISYANA ARTHARINI

TEBET pada 1960-an adalah tempat tinggal bagi penduduk Senayan yang dipindahkan karena pembangunan gedung olahraga dan perkampungan atlet. Kemunculan studio musik, rumah produksi, dan galeri seni membuktikan bahwa tempat ini sempat jadi koloni kelompok kreatif. Lalu muncullah pendatang baru dengan inisiatif-inisiatif usahanya. Siklus ini mirip gentrifikasi urban di mana kawasan yang semula biasa-biasa saja mengalami peningkatan secara fisik, diikuti kenaikan harga properti. Namun, perkembangan Tebet mungkin juga karena ruwetnya tata kota Jakarta. Saat sebuah kota kian mekar, jarak tempuh antarlokasi menjadi kian jauh. Di sinilah Tebet menawarkan solusi. Lokasi di tengah kota, ditambah kerimbunan taman serta jalanjalan yang masih terpelihara. Maka, tiba-tiba saja beberapa tempat di kawasan ini tumbuh pesat. Dipenuhi kafe, sekolah, galeri seni, distro, rumah produksi, salon, dan masih banyak lagi fasilitas pendukung gaya hidup khas kaum urban. Perkembangannya mirip Kemang, Jakarta Selatan, hanya saja beda karakter. “Buat saya, sekarang Tebet jauh lebih menarik. Kemang sudah macet. Terlalu padat dan telanjur memiliki citra kawasan mahal. Tebet alternatif yang menjanjikan,” kata Wahyu Aditya, pendiri sekolah animasi HelloMotion yang berdiri sejak 2004 di Tebet Raya. Sebelum membuka sekolah, Wahyu pernah bekerja di sebuah rumah produksi yang kemudian memindahkan kantornya ke Tebet Barat. Tempat nongkrong Perkembangan terpesat di kawasan Tebet barangkali terjadi di Tebet Utara Dalam. “Yang dulunya enggak macet, sekarang jadi macet dan jadi tempat nongkrong anak muda. Kalau malam Minggu, parkir itu bisa sampai di depan sini,” kata Wadit, panggilan Wahyu Aditya. Tebet Utara Dalam menjadi ramai karena berdiri distro Bloop, disusul Endorse, dua unit usaha milik satu keluarga. Dua distro inilah yang dinilai Wadit punya peran mengubah wajah kawasan tersebut dan merangsang pertumbuhan usaha-usaha lainnya. Kemunculan kios burger, kopi, dan pertambahan tiga sampai empat distro lainnya menjadi faktor penarik kuat bagi anakanak muda untuk menjadikan kawasan tersebut sebagai tempat nongkrong. Bagi anak sekolah, Endorse adalah sebuah ‘institusi’ terpandang. “Ketemuan di Endorse aja ya,” ucap salah seorang gadis remaja belasan tahun kepada temannya lewat telepon seluler, Senin (25/2). Distro Endorse sebenarnya produk kedua (second brand) setelah Bloop. Bloop merupakan distro pertama yang merambah daerah Tebet Utara Dalam pada 2003. Bloop berawal dari niat untuk membuka usaha dengan modal sekitar Rp30 juta. Bisnis ini ternyata berkembang pesat dan modal mendirikannya kembali hanya dalam jangka waktu dua tahun. Keberhasilan Bloop mengundang distro-distro lain. Tidak tinggal diam, Bloop kemudian mendirikan usaha lagi yang kemudian dikenal dengan nama Endorse. Lokasi Endorse masih di sekitar Bloop. Alasannya, dekat dengan banyak sekolah, hingga otomatis dapat menarik pelajar sebagai konsumen distro. Tebet dipilih karena akses yang mudah dari wilayah Jakarta Timur ke Selatan. Siapa pun pasti melewati daerah Tebet jika ingin ke Timur. “Kami ingin setiap orang yang melewati Tebet teringat pada Bloop dan Endorse. Ibaratnya kami ini trademark-nya tebet,” ujar Humas Bloop dan Endorse Barnes kepada Media Indonesia, Selasa (26/2). Kini, wajah Tebet Utara Dalam kian ramai setelah kelompok usaha yang merintis Bloop dan Endorse juga mendirikan kios burger De Jons dan rumah makan Nasi Bebek Ginyo. Maka, Tebet Utara Dalam pun jadi ramai pengunjung, tapi tidak menjadikan wilayah itu terlalu komersial.

Keterangan Foto
GELIAT TEBET : Kawasan yang ramai oleh komunitas anak muda ini terletak dekat dua terminal dalam kota dan dua stasiun kereta api.

Ruang Rupa
Sesungguhnya, kawasan Tebet bukan sekadar tempat nongkrong anak gaul. Bagi Direktur Ruang Rupa Ade Darmawan dan Koordinator Program Galeri Ruang Rupa Indra Ameng, Tebet menawarkan sebuah pola interaksi bertetangga yang mulai jarang ditemukan di Jakarta. “Sebuah galeri yang berbicara tentang isuisu urban, perumahan, pendatang, we are in it. Kita tidak jadi eksklusif,” kata Ade. Saat pertama berdiri pada 2001, Ruang Rupa berlokasi di Kalibata, Pasar Minggu. Tapi pada 2002 mereka memutuskan pindah ke kawasan Tebet. Preferensi mereka pada Tebet karena melihat banyaknya rumah-rumah yang juga berkembang jadi kantor. Rentetannya, di sekitar rumah kantor itu juga berkembang penyedia kebutuhan sehari-hari. “Ada studio editing yang di depannya berdiri warung rokok 24 jam. Tapi dia juga jual DVD blank dan kaset mini DV. Gila kan? Kalau diperhatikan, kita sendirisaja sudah bisa mencukupi semua kebutuhan di seputar Tebet. Enggak perlu ke mana-mana lagi,” papar Ameng, Rabu (27/2). Ade menambahkan, interaksi di Tebet berbeda dengan Kemang. “Kalau kawasan Kemang kesannya sengaja dibuat, di Tebet bisa dikatakan organik. Jadi kesannya tetap low profile, tidak flashy (pamer) kayak Kemang,” katanya. Dia kemudian memberi bukti masih kukuhnya keberadaan dua pasar tradisional, yaitu Pasar Tebet Timur dan Pasar Tebet Barat. Keduanya masih jadi tempat tujuan utama ketika berbelanja meski hipermarket dan minimarket bertebaran di sekitar kawasan itu. “Jangan salah, yang belanja kosmetik di Pasar Tebet Barat itu anak orang kaya,” tukas Ameng. Semua kemandirian itu jadi kian lengkap karena Tebet juga memiliki sekolah, bioskop, rumah produksi, lapangan sepak bola— salah satunya bahkan dilengkapi tribune penonton—gelanggang olahraga, dan kedekatan dengan stasiun kereta. Dari segi ideologi, Tebet sangat beragam. Kumpul-kumpul peribadatan dari berbagai agama dan aliran bisa berlangsung berdampingan. Lingkungannya pun relatif aman. Ketika masuk ke dalam gang, kebersihan tetap terjaga. “Mungkin karena latar belakang pendidikan dan ekonomi orang-orangnya tidak terlalu jauh berbeda, jadi mereka lebih terbuka. Bandingkan dengan Kemang. Di luarnya saja kelihatan nyaman. Begitu masuk ke gangnya, brutal deh,” kata Ade. Yang menarik lagi, Tebet memiliki taman-taman kecil rimbun di setiap blok perumahan. Masuk ke gang sekecil apa pun, pasti ada taman yang dikelilingi berapa rumah. Dengan semua kekayaan itu, tidak mengherankan jika kemudian kawasan ini menjadi urban dream. (*) isyana@mediaindonesia.co.id
Google